Sumpit? Gimana Sih Cara Pakai Sumpit dengan Baik dan Benar?
Sumpit, cara menggunakan sumpit

Saat itu, menjelang petang di hari pertama (Pendidikan dan Pelatihan Dasar) Diklatsar VI Barisan Ansor Serbaguna (Banser) Satkoryon Kecamatan Wanasari, Jum'at (10/2/2023), saya mendapatkan instruksi dari Ketua PAC GP Ansor Wanasari, Sahabat A. Junaedi untuk menemani dan mengawal para 'Penggede' PAC GP Ansor Wanasari, yakni Sahabat Safrudin, Zarukhi, Nurdin Zaki, dan Syaifudin Faqih. Mereka berempat bermaksud meninjau kegiatan Diklatsar tsb.
Kang Nurdin Zaki yang juga pecandu Sinetron "Ikatan Cinta" waktu itu mengajak kami berlima menikmati mie ayam yang ada di dekat lokasi Diklatsar, maka jadilah kami duduk lesehan menikmati mie ayam di tenda Basada.
Waktu itu saya tertarik mengamati cara menggunakan sumpit beberapa sahabat tsb ketika makan, dan sudah saya tebak, hanya saya dan Kang Nurdin yg bisa menggunakan sumpit dengan baik dan benar, sementara 3 yang lainnya masih kurang tepat menggunakannya. Ini bukan hal aneh sebenarnya, sebab memang masyarakat kita tidak terbiasa makan dengan menggunakan sumpit, sehingga kebanyakan belum bisa menggunakannya dengan tepat.
Ada yg menggunakan kedua tangan untuk memegang sumpit, menjepit dan memutar-mutar mie memakai sumpit agar mie tersebut bisa diangkat, kesalahan umum lainnya adalah sumpit yang dipegang berada menempel satu sama lain dari ujung ke pangkal, dan lain sebagainya.
Sumpit sebagai alat makan khas sebagian masyarakat Asia Timur seperti China, Jepang dan Korea, memiliki sejarah panjang dan tentu saja memiliki filosofi yang mendalam. Ketika Sahabat mempelajari filosofi tersebut, sahabat dipastikan akan tertarik menggunakan sumpit dengan baik dan benar. Sebab ini merupakan sebuah warisan adiluhung negeri seberang yang patut untuk di apresiasi.
Sumpit sudah dikenal di Tiongkok sejak 3.000 hingga 5.000 tahun yang lalu. Sebutan untuk sumpit adalah fai ji, yang secara harafiah berarti bocah-bocah gesit dan tangkas Penggunaan sumpit dikembangkan oleh Confusius (551-479 BC) sejalan dengan perkembangan ajaran Confusius. Orang-orang Tionghoa yang waktu itu menganut Konghucu, menganggap penggunaan sendok dan garpu adalah semacam kekejaman, bagaikan senjata dingin.
Oleh masyarakat Tionghoa, makan bersama dianggap sebagai sarana mempererat tali persaudaraan dan kesempatan berkumpul dengan sanak keluarga dan teman-teman, sehingga penggunaan alat makan yang tajam harus dihindari. Oleh karena itu mereka lebih memilih menggunakan sumpit.
Dalam budaya Tionghoa sendiri ada begitu banyak aturan dalam pengguanan sumpit. Ada etiket dan tata krama. Misalnya, waktu menggunakan sumpit tidak boleh jatuh karena dianggap sial.Tidak boleh menancapkan sumpit ke dalam makanan karena dianggap sedang sembahyang untuk orang mati. Waktu makan, sumpit tidak boleh dipakai untuk menunjuk suatu makanan di meja atau menunjuk apa pun.
Sumpit tidak boleh dipakai untuk mengetuk-ngetuk piring, mangkok, atau meja. Selama bersantap, sumpit tidak boleh terlepas dari tangan. Setelah selesai bersantap, sumpit tidak boleh diletakkan di atas meja, melainkan harus di atas tatakannya atau di atas mangkuk, dan kedua batangnya diletakkan secara pararel. Itulah aturan mainnya.
Seperti yang kita ketahui sepasang sumpit harus setara. Kedua batang sumpit harus sama panjangnya dan sama besarnya. Menurut kelaziman, panjangnya 20 cm dan berbentuk segi empat pada bagian atas dan lingkaran agak tumpul pada bagian bawah dengan diameter 0,5 cm. Kalau tidak setara, sumpit susah digunakan. Sumpit dianggap sebagai lambang kesetaraan, harmoni, dan kerja sama, sebab bukankah sumpit hanya bisa dipakai jika terdiri dari dua batang?
Masyarakat dimanapun kita berada selalu bersifat majemuk karena unsurnya terdiri lebih dari satu himpunan/kumpulan/budaya/sifat. Roda kehidupan berfungsi dengan baik jika semua himpunan bersifat seperti sumpit, yaitu setara dan dapat bekerja sama secara harmonis. Setiap individu, suku bangsa dan agama - agama bisa eksis sebelah - menyebelah bila mau setara dan bekerja sama secara harmonis.
Untuk dapat mempergunakan sumpit dengan baik, tidak cukup hanya bersama, setara, tetapi juga harus bergerak dalam sebuah harmoni. Jika tidak ada gerakan yang selaras, sumpit itu tidak akan berguna apa-apa. Begitu juga dalam berumahtangga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Untuk meraih sebuah cita - cita yang diharapkan semua komponen mestilah harus bergerak bersama secara harmonis, jika tidak, maka cita - cita tsb hanya akan menjadi angan - angan.
Kemudian sumpit juga melambangkan kerja sama. Tidak mungkin sumpit bisa menjepit makanan bila salah satu di antaranya bertindak berlebihan, mendominasi atau mengabaikan yang lain. Kedua sumpit harus bersatu, bekerja sama dan saling membantu.
Jiwa filosofi dari sumpit tentang kesetaraan, harmoni, dan kerja sama merupakan syarat untuk survive. Bayangkan apa jadinya jika dalam suatu rumah tangga suami-istri daling saling memusuhi. Mana bisa rumah tangga itu akan awet dan bahagia? Begitu juga dalam suatu negara, etnik yang satu membenci etnik yang lain, agama yang satu mencurigai agama yang lain. Mana bisa negara itu bertahan? Sepasang sumpit merupakan lambang perlunya kesetaraan, harmoni, dan kerja sama dalam lembaga apa pun, mulai dari keluarga sampai negara dan bangsa.
Lantas bagaimana cara memakai sumpit yang benar? Ambil salah satu sumpit lalu silakan dijepit di antara telunjuk dan ibu jari. Setelah itu, sahabat harus menggunakan jari manis buat menyeimbangkan. Untuk batang sumpit kedua, silakan pegang menggunakan ibu jari, telunjuk, dan jari tengah. Gunakan jari telunjuk dan jari tengah buat menggerakkan sumpit saat sahabat akan mengambil makanan.
Ingat ya, bagian yang bergerak adalah yang atas saja! Bagian bawah ditahan sama ibu jari dan jari manis, tidak perlu bergerak.*(AR/ZQ)
Sumber : Dari Berbagai Sumber
Penulis : A. Rosyidin
Comments (0)
Facebook Comments