Nahdlatul Ulama (NU) dan Politik Subtansialistik
NU dan Politik Subtansialistik

Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi kemasyarakatan terbesar di Indonesia dari periode ke periode senantiasa berada pada pusaran politik. Entah itu politik praktis ataupun politik nilai. Namun demikian, menarik untuk disimak kemudian, apakah hal yang sama berlaku, terutama politik praktis, bagi NU periode hasil Muktamar ke -34 di Lampung, 22-24 Desember 2021. Muktamar yang mengantarkan KH Miftachul Akhyar terpilih kembali sebagai Rais Am PBNU periode 2021-2026 dan KH Yahya Cholil Staquf sebagai Ketua Umum Tanfidziyah, menggantikan KH Said Aqil Siroj.
Secara retorik, penjelasan atau jawabannya sudah bisa publik peroleh ketika Gus Yahya, sapaan akrab KH Yahya Cholil Staquf, telah berkomitmen akan menjaga NU agar jangan terlalu dekat dengan politik praktis, salah satunya soal Pemilu 2024 (detikcom, 27/12). Bahkan ia, sebagaimana banyak dikutip media massa, menegaskan tidak bakal ada calon presiden dan wakil presiden berasal dari PBNU. Kader nahdliyin diperbolehkan mengikuti kontestasi politik asalkan tidak duduk di jajaran PBNU.
Jawaban di atas, meskipun bersifat retorik, telah memberikan gambaran awal bahwa NU di bawah kepemimpinan Gus Yahya tidak akan dibiarkan terjebak pada pusaran politik praktis. Namun demikian, publik tentu akan menunggu lagi apakah jawaban itu, secara praktis, adalah akan relevan. Terutama setelah melewati proses pengujian politik di lapangan, paling tidak untuk lima tahun ke depan.
Bagi NU, menjalankan komitmen tersebut sesungguhnya adalah pekerjaan yang tidaklah mudah karena pusaran politik praktis pernah begitu akrab. Pada Orde Lama misalnya, NU menjadi bagian dari Masyumi, lalu pada Pemilu 1955 memisahkan diri menjadi partai politik. Pada awal Orde Baru, NU pernah bergabung dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP), lantas menarik diri dan kembali ke khittah 1926. Ketika Reformasi 1998, para tokoh ormas ini mendirikan sejumlah partai, seperti Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Nahdlatul Ulama (PNU), Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU), dan lain sebagainya.
Tetapi, bukan berarti NU, terutama secara jam’iyyah (organisasi, tidak bisa melepaskan dari politik praktis. Sejarah mencatat NU juga pernah berhasil menunjukkan kepiawaiannya menjauhi arena politik praktis dengan khittah 1926-nya. Selain itu, NU juga memiliki modal dasar berupa genetik politik substansialistik. Politik dalam pengertian yang sebenarnya.Yaitu, soal mengangkat dan merawat kemaslahatan umum atau kebaikan bersama.
Politik substansialistik itu berbeda dengan politik legalistik atau formalistik yang banyak diusung oleh partai politik berbasis agama. Mengutip Bahtiar Effendy (2000), politik formalistik cenderung menghasilkan tata kelola kebangsaan yang zero some game-ada yang dimenangkan dan ada yang dikalahkan, dan semangat eksklusivitas keagamaan.
Dalam kenegaraan, politik substansialistik menghasilkan religious state bukan theocratic state (Munawir Syadzali). Konsep bernegara yang kendatipun secara legal-formal tidak mendasarkan pada ajaran agama tertentu, namun memperhatikan kepentingan-kepentingan keagamaan masyarakat. Negara memfasilitasi kebutuhan-kebutuhan masyarakat terkait hal-hal keagamaan.
Sedangkan dalam keagamaan, politik substansialistik menghasilkan moderasi dan toleransi. Praktik beragama yang berjangkarkan pemahaman keagamaan yang moderat serta dengan ekspresi yang mengakui dan melintas perbedaan.
Dengan demikian, politik substansialistik lebih fokus pada tujuan atau isi, sementara politik formalistik lebih tersibukkan pada prosedur dan bungkus atau cangkang dalam mencapai tujuan. Bahkan dalam kadar tertentu, bungkus tersebut acapkali berubah menjadi tujuan, seraya meminggirkan tujuan yang sesungguhnya.*(ET/ZQ)
Comments (0)
Facebook Comments