Politik Identitas, Sekedar Warna atau Ancaman Demokrasi?

Politik Identitas, Sekedar Warna atau Ancaman Demokrasi?

Politik identitas belakangan ini menjadi Trend bahkan menjadi salah satu Starategi kampanye politik Pemilu di Indonesia saat ini. kenapa bisa tumbuh subur dan mejadi senjata utama elit politik saat ini untuk mendegradasi atau mendongkrak electoral   ?  Ya, Sebab Indonesia adalah negara mulitikultural ratusan suku, kepercayaan, dan budaya, yang dimana hal itu bisa dijadikan potensi pengorganisasian politik identitas. Ya, berbicara politik identitas  tak bisa lepas jauh dari PA 212, karena aksi tersebut buntut dari pernyataan calon gubernur petahana dalam dalam pilkada DKI Jakarta 2017, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok yang dianggap menistaka agama. Gerakan tersebut bisa dikatakan berhasil  karena mampu menggiring Ribuan orang ke Monas dan berhasil menjadikan Anies Baswedan sebagai gubernur DKI Jakarta yang mana pada saat itu menjadi salah satu bahan perhatian Nasional bahkan Dunia.

Usai suskses membuat Anies Baswedan menang dalam PILGUB DKI Jakarta pada tahun 2016, PA 212 rutin telah menggelar bebrapa Reuni, tercatat pada tahun 2017, 2018 hingga 2019 kegiatan reuni akbar yang dimotori oleh FPI dan kawan-kawan sukses dilakukan. dan kemudian beberapa tahun absen digelar karena situasi pandemi Covid. Memang awalnya kalau melihat Gerakan PA 212 hanya sebetas demontrasi biasa, akan tetapi kalau melihat secara medalam gerakan itu, berlahan bermetamorfosis menjadi gerakan identitas diarena politik kontemporer. Dan lebih lanjut menurut Kamela (1989) megenai politik identitas, kesukukuan medapatkan peranan yang penting, ia mejadi symbol-simbol budaya yang menciptakan kelompok khusus. Terbukuti di pemilu PILGUB DKI simbolisasi dan narasi memilih pemimpin harus seiman atau pemimpin muslim,pemimpin pribumi dan non pribumi menjadi variabel politik.  Sehinga banyak kalangan yang menilai Indonesia sekarang sedang mengalami gejolak potensi konfik baru khususmya negara adan agama, bercontoh pada tingginya tensi politik identitas pada pemilihan gubernur Jakarta.

tujuannya. Lebih lanjut menurut Habibi (2018), Hal postif yang diambil dari politik identitas ada upaya untuk tetap melestarikan nilai budaya yang menjadi ciri khas kelompok yang bersangkutan sehingga penguatan budaya tidak akan luntur dan hilang.

             Politik identitas Bukan hanya sekedar corak demokrasi di Indonesia dikarenakan negara yang plural. Ya, jika menggunakan Agama, suku dan ras sebagai Atribut politik secara membabi buta dan overdosis, Politik Identitas pasti mempunyai dampak bagi kualitas Demokrasi di Indonesia,  sistem polariasi akan tercipta di tengah masyarakat yang dimana hal itu hisa berpotensi untuk memecah belah persatuan dan kesatuan sekaligus menodai pancasila dan kebinekaan.  Selain itu, bahaya politik identitas yang berlebihan akan berujung pada fasisme bahkan bisa berpotensi ke hal yang lebih buruk lagi yaitu sparatisme.  

Agar noda hitam politik identitas yang over dosisi itu tidak terulang pada pemilu 2024, seharunya kita belajar pada pilkada DKI 2016 dan pemilu 2019, seyogyanya pada elit politik bisa mengontrol arogansi politik. Seperti apa yang dikatakan Walter Lippmann (1950) dalam filsafat Publiknya medorong politikus demokrasi untuk menjujung tinggi moralitas demokrasi. Hal ini dikarenakan dalam negara demokrasi sekalipun penyakit dari terbukanya kebabebasan akan terus bemunculan, sehingganya hal itu diperlukan etika dan moralitas dalam demokrasi. Meski negara indoneisa negara yang plural idealnya para elit politik tidak mempolitisi agama, suku dan rasa secara membabi buta yang mana hal itu akan berdampak pada kemunduran value demokrasi di Indonesia. Selain dari actor utama elit politik, peran penting lain ada pada diri akademisi, ilmuan politik dan tokoh agama yang semua itu harusnya Bersatu padu untuk mengawal dan membuat konsep pemilu yang Demokratis, sehingga setiap hajat pemilu di Indonesia terhindar kampanye hitam politik yang berkdeok agama, suka dan ras yang over dosisnya.

 

Penulis : Iqbal Shamiago (Kader PR GP Ansor Desa Kubangwungu, Kec. Ketanggungan - Mahasiswa Magister Komunikasi Universitas Paramadina)